![]() |
ilustrasi |
Indonesia adalah sebuah negara demokratis yang mengadakan pemilu secara langsung. Setiap orang juga berhak untuk memilih dan dipilih sebagai wakil rakyat atau bahkan presiden. Tidak ada batasan untuk calon dalam hal gender, ras, etnik, kelas, dan lain-lain. Dengan kata lain, syarat utama sang calon adalah dia seorang warga negara Indonesia, yang sudah siap dan mampu untuk mencalonkan diri, baik itu sebagai anggota legislatif maupun eksekutif.
Sejak runtuhnya masa Orde Baru pada tahun 1998, Indonesia sudah tiga kali melaksanakan pemilu demokratis, yakni Pemilu Tahun 1999, 2004, dan 2009. Meskipun masih terjadi kecurangan di beberapa tempat mengenai persoalan administrasi, intimidasi dan mobilisasi, serta politik uang, tetapi secara umum pemilu Indonesia bisa dikatakan lancar.
Terkait dengan hal tersebut, sejak tahun 2004, Indonesia telah menerapkan affirmative action dalam sistem pemilunya, yakni dengan diterapkannya kuota mengenai pencalonan perempuan sebesar (minimal 30%). Begitu pula pada Pemilu 2009, yang bahkan dibuat peraturan yang lebih rinci mengenai representasi perempuan di ranah legislatif.
Selain untuk mengatur secara lebih rinci mengenai tata cara pemilu, termasuk proses kampanye dan lain-lain, peraturan-peraturan ini juga dibuat berdasarkan pertimbangan sebagai affirmative action keterwakilan (representasi) perempuan dalam politik. Dalam catatan sejarah, kebijakan dalam rangka affirmative action di Indonesia muncul dari serangkaian perjalanan panjang.
Meskipun Indonesia sudah membuat kebijakan-kebijakan affirmative action, representasi perempuan dalam politik masih belum bisa terjamin secara penuh. Dalam hal ini, persoalan mengenai representasi perempuan dalam politik, masih mendapat banyak tantangan seperti persoalan budaya patriarki, kurangnya modal dan jaringan, belum lagi persoalan internal partai, serta kuatnya persaingan dengan calon laki-laki.* (Dee)